THE MANTAN BAGIAN 15


THE MANTAN
Bagian ke-15
Kehilangan


Jam menunjuukkan pukul 09.05. Arkam sudah bersiap-siap. Hari itu ia diminta ayahnya untuk mengantarnya ke pasar sentral untuk membeli peralatan pertanian.

"Sudah siap nak?" Tanya Darwis.

"Udah Yah. Ayo langsung berangkat aja" Jawab Arkam.

"Beliin bakso yah kak!" Terdengar suara Ulfa dari dalam kamarnya.

"Ok dek" Jawab Arkam.

Mereka pun kemudian berangkat dengan mengendarai sepeda motor. Arkam mengendarai motornya tidak terlalu cepat. Kecepatannya hanya berkisar 60km/jam. Tepat di sekitar jembatan Corawalie tiba-tiba ada seekor anjing yang menyebrang. Arkam pun segera membanting stir motornya ke arah kanan untuk menghindari anjing tersebut. "Brukkkk" Sebuah mobil Avanta yang berkecepatan tinggi menghantamnya dari belakang. Motornya ambruk, badannya terhempas ke sisi kanan bahu jalan. Sementara itu tubuh ayahnya terlempar ke sisi kiri dan kepalanya tepat mengenai trotoar jalan.

Nafasnya tersenggal, badannya tak mampu lagi digerakkan. Darah mengalir di antara pelipisnya. Tak sanggup lagi ia membuka kelopak matanya, hanya suara kerumunan orang yang mengitarinya samar terdengar dari pendengarannya.

Sekitar sepuluh menit setelah kejadiaan itu barulah sebuah mobil pick up milik polisi datang dan segera menghantarkan mereka ke rumah sakit umum.

......
Di rumah sakit umum pukul 23.35
Sudah tiga hari tiga malam Arkam belum juga sadarkan diri. Ulfa dan Rahma bergantian menjaganya. Jika Ulfa yang tidur maka Rahmalah yang terjaga, begitu pun sebaliknya. Sementara itu Tingko dan Khalil menanti di luar bangsal. Hanya sesekali mereka masuk melihat kondisi sahabatnya. Bangsal kecil tempat Arkam kini dirawat akan menjadi sumpek jika mereka semua berjaga di dalam. Jadi mereka memutuskan untuk berjaga di luar saja.

Anti, Evi, dan Ayu hanya datang di malam pertama Arkam di rawat. Tak seperti mereka, Rahma dengan setia menjaga Arkam di sana menunggunya hingga sadar. Bahkan ia rela harus bolos kuliah hanya untuk menjaga Arkam. Makan, minum, mandi, semua itu ia lakukan di ruma sakit. Jika ia butuh pakaian ganti, maka ia hanya meminta Anti untuk membawakannya pakaian.

"Sadarlah" bisik Rahma lirih. Matanya sembab menatap wajah Arkam yang tampak begitu pucat. Sesekali ia mengusap punggung tangan Arkam seakan memintanya agar Arkam segera kembali dari dunia mimpi. "Bangunlah Arkam! Jangan menyakitiku dengan cara seperti ini"

Begituh pedih hatinya melihat Arkam terbaring tak berdaya. Memang benar, tidak ada rasa sakit melebihi melihat orang kita cintai sakit.

"Ya Allah jangan ambil dia dariku. Berilah ia kekuatan untuk segera bangkit dari tempat tidur yang menyedihkan ini" doa Rahma dalam hati.

Entah mendapat kekutan dari mana tiba tiba kelopak mata Arkam terbuka dengan perlahan. Melihat itu, Rahma bergegas membangunkan Ulfa yang tertidur sejak pukul 8 malam.

"Dek bangun dek. Kak Arkam udah sadar" Rahma menggoncang tubuh Ulfa.

Mendengar itu, Ulfa langsung ke samping Arkam.

"Kakak. Ini Ulfa kak" Kata Ulfa sambil menggengam tangan Arkam.

"Ayah mana dek?" Sebuah pertanyaan dengan suara lirih yang keluar dari mulut Arkam.

Ulfa terdiam, matanya berkaca-kaca, dengan segenap kekuatan ia menahan tangisnya. Bagaimana mestinya menjawab pertanyaan kakaknya tersebut. Baru saja Arkam pulih, apakah pantas memberitahunya  kenyataan menyakitkan bahwa Ayahnya telah meninggal.

"Ayah mana dek?" Arkam kembali mengulang pertanyaanya.

Melihat hal tersebut, air mata terjatuh dari pipi Rahma. "Beri ia kesabaran dalam menjalani ujianmu ini ya Allah" Bisiknya dalam hati. Ia menahan tangis, menutupi mulutnya dengan tangannya, lalu kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Tak sanggup ia menyaksikan orang yang dicintainya menderita.

"Jawab dek, Ayah mana?"

Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ulfa. Tak mampu lagi ia membendung kesedihannya. Tangisnya pecah memenuhi ruangan kecil tersebut.

Tangisan Ulfa cukuplah menjadi jawaban akan pertanyaan Arkam. Tangisan itu mengisyaratkan bahwa Ayahnya, orang yang amat dicintainya kini telah tiada. Bulir bening keluar dari kedua pelupuk Arkam. Segala tenaganya ia rasa habis terkuras. Matanya yang baru saja terbuka itu kini kembali terpejam. Arkam kembali tak sadarkan diri.
...

Panas sinar mentari sungguh menyengat seakan membakar kulitnya. Meski demikian Arkam tetap semangat mencangkul pinggiran sawah dan memperbaiki pematangnya yang rusak akibat sering dilewati oleh kuda-kuda yang mengangkut gabah hasil pertanian beberapa bulan yang lalu.

Sebulan telah berlalu semenjak kecelakaan yang telah menewaskan ayahnya. Kini Arkam lah yang harus melanjutkan pekerjaan yang telah dimulai oleh ayahnya. Tak pernah ia membayangkan seorang sarjana muda sepertinya berakhir di persawahan. Ini semua tidak sesuai dengan yang ia rencanakan. Apa hendak dikata, saat seseorang telah menyelesaikan pendidikannya di bangku kuliah, maka pada saat itulah ia mesti mendamaikan antara idealismenya saat di kampus dengan realita yang ia dapati.

Ia dikuliahkan oleh ayahnya bukan untuk menjadi seorang petani. Mestinya sekarang ia berada di kantor berhadapan dengan komputer. Namun saat ini ia tidak punya pilihan lain. Di masa krisis, mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya bukanlah hal mudah. Ia rutin membeli koran Radar Bone hanya untuk mencari informasi lowongan pekerjaan. Memang ada beberapa lowongan pekerjaan, namun kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan hanyalah posisi sales. Sedangkan ia sendiri tidak punya bakat untuk menjual barang ke konsumen.

Dibanding menjadi pengangguran, ia memutuskan  mengolah sawah warisan ayahnya. Sebab jika orang yang lain yang mengolah, maka ia hanya akan mendapat sepertiga dari hasil sawah tersebut. Dan itu tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhannya dan adiknya..

Peluh membasahi seluruh tubuhnya. Meski pun ia belum pulih sepenuhnya akibat kecelakaan yang menimpanya kemarin, ia tetap memaksakan diri untuk bekerja sebab pekerjaan di sawah bukanlah pekerjaan yang bisa ditunda-tunda. Saat senja datang, dan mentari telah menepi, maka ia pun kembali ke rumah untuk melepas semua penat.
.............
"Minum dulu kak. Ulfa sudah bikin teh plus pisang goreng kesukaan kakak." Kata Ulfa menawarkan minum pada kakaknya.

"Makasih dek" Arkam meminum tehnya, dan memakan beberapa potong pisang goreng.

"Gimana enak kan kak?"

"Enaklah dek" Jawab Arkam dengan tetap mengunyah pisangnya.

"Tehnya manisnya pas kan?"

"Masih kurang manis dek"

"Ulfa ambilin gula yah kalau gitu"

"Gak usah dek, gak apa apa kok dek"

"Maaf yah kak kalau tehnya kurang manis, soalnya Ayah kalau minta teh biasanya ia minta yang tidak terlalu manis. Jadi kebiasaan bikin teh yang kurang manis kebawaan sampai sekarang." Tiba-tiba Ulfa teringat akan ayahnya yang telah tiada. Ia teringat semua hal yang ia lakukan bersama ayahnya. Kesedihan kembali menyeruak menyesakkan dadanya, air matanya tak lagi mampu ia bendung.

Melihat adiknya menangis , Arkam merasa ingin menangis juga. Dengan sekuat tenaga ia manahan tangisannya sebab ia tak ingin tampak lemah di depan adiknya. Jika ia tidak tegar maka siapa lagi yang dapat menguatkan adiknya.

"Udah dek kita gak boleh terus-terusan bersedih, yang penting sekarang adek senantiasa berdoa buat Ayah agar beliau mendapatkan tempat terbaik di sisiNya." Kata  Arkam sambil mengusap punggung adiknya.

"Iya kak" Ulfa mengusap air matanya.

"Ya udah yah, kakak mau mandi dulu"

"Iya kak, Ulfa juga mau masak"
........
Usai makan malam, Arkam terlentang di kamarnya, memandang kosong pada langit-langit kamarnya. Ia merenungi nasibnya, "Begitu berat beban yang harus kutanggung ya Allah" keluhnya dalam hati.

Luka di badannya memang sudah sembuh, tapi luka akibat kehilangan orang yang ia cintai terasa semakin menganga saja. "Aku harus tegar untuk adikku, aku harus lebih dewasa menghadapi kenyataan hidup ini, aku harus bekerja keras untuknya"

Air mata perlahan mengalir membasahi bantal. Apa yang membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat adalah ia bukan orang yang memikul keranda ayahnya sampai ke liang lahat. Pada saat ayahnya dikubur, ia masih terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit. "Ya Allah pandanglah aku, kuatkan aku, berikan hambamu ini kesabaran dan kekuatan untuk menghadapi semuanya" Doanya dalam hati.

"Arkam. Arkam. Arkam" Terdengar teriakan dari luar rumah tiba-tiba mengalihkan fikirannya.

"Ulfa, coba tengok siapa yang teriak di depan rumah!" Teriaknya pada adiknya. Badannya masih terasa penat, ia merasa malas untuk beranjak dari tempat tidurnya.

Ulfa yang sementara sedang belajar untuk persiapan ulangan mate-matika besok menyahut "Iya kak" Dengan segera ia menuju pintu depan.

"Eh kak Tingko sama kak Khalil, silahkan masuk kak"

"Eh Ulfa, lama gak ketemu kamu kelihatan makin cantik aja nih dek" Khalil mencoba menggoda.

"Gak usah ngegombal kak, Ulfa ini masih anak SMP loh"

"Emang kenapa?"

"Yah gak bolehlah, sadar kak! muka kakak tuh udah tua banget kayak meriam warisan Belanda, masa ngegombalin anak SMP" Ledek Ulfa.

"Emang mukaku udah tua banget yah Ko?" Tanyanya  pada Tingko.

"Imani saja apa yang dikatakan Ulfa bro" Kata Tingko sambil membenarkan letak kacamatanya.

"Ah, kamu sama Ulfa sama saja" Protes Khalil dengan nada kesal. Melihat itu Ulfa tertawa puas.

"Eh malah ketawa. Udah jangan ketawa, saya jadiin istri muda baru tahu rasa kamu" Khalil balas tertawa. Ulfa dengan geram mencubiti bahunya. Khalil bertingkah seolah kesakitan akibat cubitan Ulfa.

"Udah dek kak, jangan lebay"

"Arkam mana dek?" Tanya Khalil.

"Di kamar kak, entar yah Ulfa panggilin dulu"

"Ok, jangan lupa bikinin kopi juga yah dek"

"Kopi gak ada, ulfa ambilin air comberan aja yah" Ucap Ulfa sambil berlalu pergi.
.....
Ulfa mengetuk kamar kakaknya "Ada tamu tuh kak" teriaknya di depan pintu.

"Siapa?" Sahut Arkam.

"Kak Khalil sama kak Tingko"

Arkam pun mengusap wajahnya yang basah dengan air mata kemudian beranjak dari tempat tidur menuju ruang tamu.

"Gimana bro kabarmu, udah sembuh belum?"  sebelum Arkam duduk, Tingko telah melontarkan pertanyaan kepadanya.

"Alhamdulillah bro sehat"

"Udah sehat tapi kok gak pernah lagi main ke rumah bro?" Ucap Khalil.

"Iya bro, gak lengkap rasanya tanpa kamu" Timpal Tingko.

Tanpamu bro, kami bagaikan onde-ode tanpa kelapanya Tambah Khalil

"Lagi males aja bro, soalnya capek dari sawah. Ngomong-ngomong kamu ada kabar terbaru tentang wisuda gak?"

"Denger-denger wisudanya beberapa minggu lagi bro. Pasti akan saya kabarin nanti kalau ada info terbaru"

"Kamu udah lunas gak pembayaranmu bro"

"Belum bro, kalau Tingko udah lunas kayaknya, kalau saya masih ngumpulin duit bro"

"Sama dong kalau gitu. Trus kalian lagi sibuk apa sekarang ini?"

"Aku sih gak ada kesibukan apa-apa, paling cuman bantuin ibu jaga toko. Khalil tuh kayaknya yang sibuk nyusun  RPP" Ucap Tingko.

"Emang kamu ngajar yah Lil" Tanya Arkam

"Iya bro, baru dua minggu ngehonor di SMA, kebetulan kepala sekolah di sekolah itu adalah pamanku, dia yang ngenawarin aku jadi guru honor di sana. Yah daripada nganggur mending ngajar aja di sana." Jawab Khalil

"Iya bro mendinglah daripada aku cuman nyangkul di sawah"

"Iya sih bro, walaupun nyangkul tapi hasilnya lumayan kan. Kalau jadi guru honor, gajinya gak akan cukup buat beli bedak. Itu pun gajiannya tiga bulan sekali"

Beli bedak? Kayak bencos aja

"Pekerjaan bukan hanya tentang gaji, tapi juga tentang aktualisasi diri bro. Ada orang yang menggeluti pekerjaan yang memang sesuai dengan passionnya sehingga ia dapat mengaktualisasikan dirinya dengan baik, namun ia tidak mendapatkan pendapatan yang memuaskan. Dan terkadang juga sebaliknya, mendapatkan pendapatan yang lumayan namun ia tidak bisa mengaktualisasikan dirinya dalam pekerjaan tersebut." Tingko berpendapat.

"Iya sih bro, gimana lagi.Kita cuman bisa jalani saja. Yang penting hal yang kita kerjakan bukanlah pekerjaan yang haram" Ucap Khalil.

"Iya sih bro" Kata Arkam.

Disaat mereka sedang asyik mengobrol, Ulfa datang dengan membawa tiga gelas kopi.

"Ini pesanannya tuan Khalil" Ucap Ulfa dengan gaya meledek.

"Makasih sayang" Khalil balas menggoda adik sahabatnya tersebut.

"Sayang?" Apaan sih kak. Belum pernah yah dimandiin pake kopi panas" ucap Ulfa kesal. Arkam hanya tersenyum melihat pertengkaran antara adik dan sahabatnya tersebut.

"Duh adek ini, kita ini bukan muhrim loh, kok udah ngajak mandi"

Siapa juga yang ngajak mandi?


Katanya tadi mau mandiin

"Udah ah, Ulfa males berantem sama  meriam Belanda" Ulfa kembali ke meja belajarnya untuk mempersiapkan diri untuk ulangan besok.

....

"Kam, tadi Rahma nelfon nanyain kamu bro. Ia juga nanya kok hpmu gak pernah aktiv?" Ucap Khalil.

"Ia bro, semenjak sibuk di sawah saya sengaja gak aktivin hp"

"Wah parah lu bro. Ia pasti khawatir banget gak ada kabar dari kamu. Tau nggak, waktu kamu di RS dia loh yang siang malam jagain kamu. Bahkan ia beberapa hari bolos kuliah demi kamu"

"Yang benar Lil?"

"Tanya aja pada Tingko kalau kamu gak percaya!"

"Iya bro betul bro, dia yang dengan sabar ngerawat kamu, kayaknya Rahma emang benaran sayang sama kamu" Timpal Wahyu.

Bersambung.....

Penyaguan, 24 Desember 2015
Revisi 28 Mei 2017



Penulis : Salga Saputra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

THE MANTAN BAGIAN 12

THE MANTAN BAGIAN 1

THE MANTAN BAGIAN 2