THE MANTAN BAGIAN 17

Sang Guru Honorer

THE MANTAN
Bagian ke-17


Pagi-pagi sekali Khalil sudah tampil rapi dengan seragam hitam putih miliknya. Disaat pertama kali mengenakan seragam tersebut ia merasa tampak seperti seorang sales, kadang juga ia merasa seperti mahasiswa semester akhir yang akan menghadapi ujian meja. Setelah beberapa minggu mengenakannya, ia sudah mulai terbiasa dengan seragam tersebut.

 " Aku tak habis fikir mengapa pemkab mewajibkan para honorer mengenakan seragam hitam putih. Apa gunanya coba? Apakah tujuannya hanya sebagai pembeda antara pns dan honorer? Tapi bukankah hal tersebut hanya menciptakan dinding tak terlihat dan menjadi pemisah diantara mereka? Kenapa para guru honerer tidak boleh mengenakan seragam seperti yang dikenakan oleh guru pns? Kamikan juga seorang guru. Apakah karena gaji kami hanya Rp.300.000/bulan hingga kami tidak layak untuk membungkus tubuh kami dengan kain yang sama yang digunakan oleh para pns tersebut. Aku betul-betul tidak mengerti jalan fikiran para pemimpin di kabupaten ini. Kami betul-betul didiskriminasi, bukan hanya dalam hal gaji, tapi juga dalam hal berpakaian."

Khalil mengomel sendiri di depan cermin layaknya mahasiswa yang sedang orasi. Ia memang baru beberapa bulan lulus dari perguruan tinggi sehingga wajar jika idelisme, dan juga sikap kritisnya masih melekat padanya. Sebagai sarjana muda ia sedikit terkejut dengan realitas yang ia hadapi sekarang. Kenyataan yang ia temui sungguh sangat jauh dengan idealismenya selama ini. Namun sebagai manusia ia harus menghadapi kenyataan tersebut, dan semua ide ide tentang bagaimana dunia yang seharusnya harus ia simpan untuk dirinyi sendiri.

Puas mengomel sendiri, ia lalu meraba bagian atas lemari untuk mengambil sisir yang biasa ia gunakan untuk merapikan rambutnya yang kini tidak lagi gondrong. Jika bukan karena peraturan tak tertulis yang mewajibkan guru-guru pria tidak boleh berambut gondrong tentu ia tidak akan memangkas rambutnya tersebut. Menurutnya rambut gondrong itu keren, karena baginya rambut gondrong itu adalah lambang kebebasan.

Ia lanjut mengomel lagi "Apa salahnya berambut gondrong? Emang preman aja yang boleh gondrong? Einsten yang terkenal jenius itu kan juga gondrong.  Para nabi pun juga gondrong. Wiro Sableng juga gondrong. Hmm aku sungguh-sungguh tidak mengerti, begitu banyak peraturan bodoh yang masih dijalankan hingga sekarang. Tujuannya katanya buat kedisiplinan, tapi orang Jepang yang terkenal disiplin itu pun gak segitu juga mengekang warganya. Tapi inilah Indonesia yang katanya telah merdeka, tapi masih juga menggunakan peraturan warisan para penjajah. Peraturan tentang gaya rambut, tentang gaya berpakaian yang diterapkan oleh para birokrat tidaklah menjadikan rakyatnya menjadi makhluk yang disiplin. Tapi semua peraturan itu malahan telah memangkas dan membatasi kreativitas. Guru-guru di negara lain lebih memperhatikan isi kepala  dibanding gaya rambut murid-muridnya , sementara itu kita-kita di sini masih sibuk mengurusi gaya rambut dan pakaian siswa. Jadi memang tidak heran jika hasil dari pendidikan di Indonesia adalah manusia-manusia yang tampak rapi namun otaknya kosong."

Rambut Khalil telah di sisir rapi. Ia bergaya di depan cermin, menaikkan alis kirinya. "Ternyata kalau rambut pendek kaya gini kayaknya aku mirip Tom Cruise" Setelah memuji dirinya sendiri ia tersenyum puas.

"Lil, sarapan nak" Terdengar suara perempuan paruh baya dari ruang makan.

"Iya ma bentar lagi, Khalil lagi ngaca." Tidak seperti jaman kuliah dulu, semenjak mengajar di sekolah ia tidak lagi serampangan dalam berpakaian. Setelah memastikan penampilannya telah sempurna tanpa celah, ia pun berjalan menuju meja makan.

Ada dua orang tua yang telah menunggunya di ruang makan tersebut. Yang pertama adalah perempuan paruh baya yang memanggilnya tadi. Perempuan tersebut tidak lain adalah Ibunya. Ibu Ati, begitulah para warga memanggil ibunya.

Ibu Ati berumur sekitar 40 tahunan,  ia adalah seorang guru pns. Ia mengajar di SD yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Sementara laki-laki yang duduk di sebelahnya tak lain adalah ayah Khalil.

Pak Jafar ayah Khalil berumur kira-kira 50 tahunan. Dulunya ia adalah karyawan di salah satu BUMN di Bone, namun kini dia telah pensiun. Setelah pensiun ia membeli beberapa hektar kebun cengkeh di Lerang dengan uang pensiunnya. Di kebun itulah sehari-hari dia beraktivitas sekedar menghilangkan rasa suntuknya di masa tua.

Khalil anak bungsu. Ia memiliki dua saudari perempuan yang keduanya telah menikah. Rumahnya tidak lagi ramai seperti biasanya sebab kedua saudarinya tersebut tinggal di rumah suaminya masing-masing.

"Masak apa ma?" Tanya Khalil

"Masa nasi lah"

"Maksudku lauknya apa ma?"

"Tuh, mama gorengin telur"

"Yah telur lagi. Lama-lama muka Khalil jadi bulat kayak telur nanti mah"

"Uda gak usah protes. Makan aja! Lagi pula apa pun lauknya, hasilnya nanti sama aja" Ucap sang Ayah tegas.

"Hasilnya apa yah?"

"Hasilnya yah tetap saja emas berwarna kuning itu"

"Duh Ayah ini, jangan ngomongin emas dong! Kita kan mau makan" protes Sang Ibu. Sementara itu Khalil tertawa kecil mendengar jawaban ayahnya.

"Kalau begitu Khalil mau makan banyak-banyak supaya emas yang dihasilkan juga banyak. Hehehehe"

Setelah sarapan, Khalil salim kepada kedua orang tuanya. Dipacunya motor Matic miliknya dengan kecepatan 60km/jam. Setelah mencapai gerbang sekolah,dia melambatkan laju motornya. Ia kemudian memarkir motornya di parkiran khusus untuk kendaraan para guru.

Khalil berjalan menuju ruang guru. "Selamat pagi pak" seorang siswi yang lumayan cantik memberinya salam.

"Pagi" ucapnya ringkas. Jika orang yang mengucapkan salam tersebut bukanlah muridnya, sudah tentu ia akan bersikap sangat ramah, mengumbar senyuman kepada orang yang memberinya salam. Ia memang sengaja tidak teralalu ramah kepada murid-muridnya. Ada jarak yang harus tetap ia jaga antara murid dan guru. Jika jarak itu menjadi kabur maka kemungkinan para murid menjadi tidak tahu batasannya dan malah bertingkah kurang ajar terhadap gurunya.

Di ruang guru, sudah ada beberapa guru yang telah ada di sana. Dua orang diantara mereka juga mengenakan seragam hitam putih. Bukan cuman Khalil, namun ada tiga guru honor yang mengajar di sekolah tersebut. Diantara guru honor tersebut, Khalil satu-satunya laki-laki, yang lainnya adalah perempuan semua. Memang, dengan gaji yang tidak cukup untuk membeli bensin, tidak banyak laki-laki yang berminat menjadi guru honor. Mereka biasanya lebih memilih bekerja di perusahaan-perusahaan yang mampu memberi mereka gaji sesuai dengan UMP.

Tidak ada percakapan yang terdengar di ruang guru tersebut. Mereka tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Guru honor yang kulitnya putih, yang tingginya sekitar155 cm bernama Nurhidayah merupakan guru mate-matika.  Ia sibuk dengan hpnya. Sesekali terdengar suara notifikasi dari hp yang ia mainkan.

Di sebelah kiri meja bu Nur. Dengan seragam yang sama seorang gadis tampak sedang menghias diri di depan cermin kecil yang ia bawa. Ia terlihat sangat sibuk mengasah alis pedangnya dengan pensil alis supaya tampak semakin tajam. Gadis itu bernama Widia guru IPS. Hidungnya lebih mancung jika dibanding hidung perempuan bugis yang pada umumnya memang pesek.

 Di pojok kiri depan tampak seorang perempuan muda berkacamata  yang tidak mengenakan seragam hitam putih. Ia tampak sibuk membaca novel religi karangan kang Abik. Perempuan muda itu bernama Andi Fatma, ia guru bahasa Inggris. Di usianya yang muda itu ia sudah menjadi PNS. Dari tampilannya, semua orang sudah bisa menebak bahwa dia adalah gadis yang cerdas.

Selain perempuan-perempuan muda tadi, tampak juga seorang Guru tua yang tak lama lagi akan pensiun duduk di dekat tv yang menggantung di sudut kanan ruangan. Ia terlihat begitu serius menyaksikan berita di tv tentang beberapa wilayah Indonesia yang terkena banjir..

Meja Khalil terletak paling belakang, dengan begitu ia leluasa mengamati gerak-gerik orang-orang di depannya.

"Bu Nur lagi BBMan yah?" Khalil membuka pembicaraan.

Mendegar pertanyaan itu, Nur langsung membalikkan badannya ke belakang. "Iyya pak" jawabnya dengan wajah berhias senyuman setelah membaca pesan BBMnya.

"Cie cie senyum-senyum sendiri. BBMan sama pacar yah bu?"

"Bukan pak. Saya senyum gara-gara teman ganti dp dengan gambar yang lucu"

"Tengok dong bu" Khalil meninggalkan kursinya kemudian berjalan ke arah Nur. Sesampainya di sana, Nur menyodorkan hpnya untuk memperlihatkan gambar yang ia maksud. Tampaklah di mata Khalil sebuah gambar seseorang yang sedang tertawa dan dengan tulisan "jomblo itu free, freehatin :p "

"Lucu kan?" Nur meminta persetujuan.

"Lucu sih lucu, tapi bikin tersinggung"

"Kok tersinggung sih pak?"

"Jelaslah saya tersinggung bu, saya kan juga jomblo"

"Ah yang benar?" ucap Nur tidak percaya.

"Yah benerlah bu, untuk apa aku ngebohongin ibu"

"Hahah kalau begitu kita sama-sama memprihatinkan pak"

"Emang ibu jomblo juga?"

"Iya pak, saya jodah akbar"

"Apaan tuh jodah akbar"

"Jomblo ditinggal nikah akibat gak dapat restu pak. Heheh" Nur kembali tertawa kecil.

"Kok bisa bu?"

"Udah, gak usah di bahas pak. Nanti saya kebablasan curhat sama bapak"

"Ngobrolin apaan sih, kayaknya seru banget" Widia yang baru saja selesai dengan make-upnya ikut bergabung dengan percakapan tersebut.

"Nih bu" Nur memperlihatkan Dp yang sedang mereka bahas kepada Widia.

"Minta pinnya dong bu" Pinta Khalil kepada Nur.

"Minta? Beli pak"

"Ah ibu ini becanda terus"

"Emang buat apa pak?"

"Yah biar bisa BBMan sama ibu, siapa tau aja jodoh" Khalil nyengir-nyengir sendiri.

"Ahh bapak ini, tapi jangan kirim pesan yang aneh-aneh yah!."

"Punyaku pak, gak bapak minta juga?" Timpal Widia.

"Emang ibu punya hp yah?" Khalil mencoba menggarai Widia.

"Iya punyalah dong pak. Nih pak punyaku lebih mahal daripada punya bapak" Widia memperlihatkan hp miliknya.

Saat sedang asyik betukar pin BBM, tiba-tiba bel sekolah berbunyi. Mereka pun masuk ke kelas masing-masing untuk menunaikan kewajibannya. Sementara itu gadis berkaca mata masih asyik sendiri dengan novelnya. Ia tidak beranjak dari tempatnya karena jadwal mengajarnya memang bukan pada jam pertama.

(Sang Guru Honorer 2)
Di kelas 1.3. Khalil mengajar pelajaran bahasa Indonesia. Ia ingat betul saat pertama kali ia masuk ke kelas itu.
......
Dua minggu yang lalu.

Dengan agak canggung Arkam memasuki kelas 1.3 . Menurut informasi dari para guru, kelas itu dihuni oleh makhluk-makhluk yang tidak beres. Sudah banyak guru yang menyerah mengajar di sana. Bahkan Khalil dipanggil untuk mengajar di sekolah itu karena guru bahasa Indonesia yang sebelumnya memutuskan untuk berhenti mengajar akibat ulah para berandalan kelas 1.3.

Bahkan setelah disiapkan oleh ketua kelas, murid-murid di sana masih banyak yang ribut, bahkan kejar-kejaraan di dalam kelas. Khalil merasa keberadaannya tidak dianggap di kelas itu. "Apa begini cara siswa sekarang memperlakukan guru-gurunya" gerutunya dalam hati.

Murid-murid jaman sekarang memang tidak memiliki rasa hormat terhadap gurunya. Mungkin globalisasilah yang telah menjadikan anak muda jaman sekarang mengalami kemerosotan moral. Banyak hal yang telah membuat guru tak lagi dihormati di negri ini. Sinetron-sinetron sampah adalah salah satu penyebabnya. Dalam sinetron, guru seringkali ditampilkan sebagai sosok yang jahat, mesum, atau sosok culun yang acapkali menjadi korban olok-olokan para muridnya. Sungguh sangat jauh dari bagaimana seharusnya guru di tampilkan.

Jaman dulu guru adalah sosok panutan, namun di jaman sekarang ini peran guru sebagai panutan telah digantikan oleh artis-artis yang  di dalam film bisa berubah menjadi binatang. Jadi tidak mengherankan jika para siswa pun kelakuannya gak jelas.

Setelah meletakkan buku yang ia bawa. Khalil berjalan menuju papan tulis, ia memperhatikan gerak-gerik muridnya. Matanya yang tajam menyapu seisi ruangan. Hanya segelintir murid yang memperhatikannya, sebagian besar dari mereka tampak ogah-ogahan dan tidak peduli akan kehadirannya.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu" Ucapnya dengan suara yang lantang.

"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatu" Suara itu menggema di dalam kelas.

Khalil melangkahkan kakinya satu langkah ke depan kemudian melanjutkan basa-basinya. "Seperti kata pepatah; tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta"

"Tak cinta maka tak kawin pak" Salah seorang murid yang bernama Ardi menimpali perkataanya. Tak kawin maka tak punya anak pak Sahut siswa disebelahnya. Hal itu membuat para murid yang lain tertawa.

Meski kata-katanya sempat diinterupsi, Khalil tetap melanjutkan bicaranya. "Saya guru baru di sekolah ini yang ditugaskan oleh bapak kepala sekolah untuk mengajari kalian pelajaran Bahasa Indonesia menggantikan ibu Sari" Khalil kemudian menuliskan namanya di papan tulis.

"Khalil Dermawan" terdengar suara para murid membaca tulisan di papan tulis.

"Yah. Nama saya Khalil Darmawan" Ucap Khalil.

"Nama panggilannya pak?" Tanya seorang siswi yang duduk di meja paling belakang.

"Kalian bisa memanggil saya pak Khalil" Sejujurnya Khalil agak geli dengan panggilan bapak yang ditujukan kepadanya. Semenjak mengajar di sekolah itulah ia dipanggil dengan panggilan bapak.

"Boleh kami panggil 'bapak sayang' aja pak?" Siswi yang duduk paling depan ikut bertanya dengan nada centil bermaksud untuk bercanda.

"Terserah, jika menurutmu panggilan itu pantas untuk kau tujukan kepada gurumu" Khalil menjawab dengan nada datar dengan menatap tajam siswi yang bertanya tersebut. Melihat tatapan gurunya, Ade dengan perlahan menundukkan kepalanya seakan takluk oleh tatapan tersebut.

Khalil kembali melanjutkan perkenalannya. "Saya tinggal di Apala pas dipertigaan menuju pasar. Umur saya 23 tahun."

Khalil kemudian kembali ke kursinya. "Saya kira cukup itu saja perkenalannya. Atau masih ada yang kurang jelas?"

"Status pak?" Teriak lena Lena dari belakang.

"Status belum menikah" Jawab Khalil ringkas.

"Udah punya pacar apa belum pa?k" Tanya Lena lagi.

Khalil merasa tidak nyaman dengan pertanyaan yang menyangkut hal pribadi seperti itu, namun untuk kali ini ia tetap menjawab "Sementara ini bapak dalam status jomblo terhormat" ucapnya santai. Mendengar kata jomblo terhormat, para murid tertawa geli.

"Pak, sekedar informasi, saya juga jomblo loh" Ucap Lena.

Khalil tidak mau kalah dengan godaan siswinya tersebut, ia pun berkata "Informasi yang menarik, tapi menurutku masih perlu diklarifikasi kebenarannya"

.......
Itulah kesan pertama yang Khalil ingat saat pertama kali mengajar di kelas 1.3.

Sekarang murid-murid kelas 1.3 sudah lebih sopan kepadanya. Baginya murid-murid di sana tidaklah sebebal yang dikatakan oleh guru-guru yang lain.  Murid-murid yang tampak nakal itu malahan lebih cepat dalam memahami pelajaran daripada yang lainnya. Hanya saja mereka lebih berisik dan perlu cara dan perlakuan khusus agar mereka mau memperhatikan pelajaran yang diberikan.

Pada hari itu Khalil memberikan materi tentang jenis-jenis majas. Setelah selesai menjelaskan, ia menyuruh murid-muridnya menyusun kalimat dengan menggunakan majas-majas yang ia ajarkan tadi.

"Kringnggg" Bunyi bel tanda istirahat. Khalil kembali ke ruang guru. Seperti biasa, kegiatan guru-guru perempuan saat jam istirahat adalah ngegosipin tetangga, artis, hingga teman mengajar mereka. Tentu saja guru yang tidak hadir pada hari itulah yang menjadi bahan gosip mereka. "Namanya perempuan, tidak peduli apa pun profesinya, hobbynya yah tetap aja ngegosipin orang" Gerutu Khalil dalam hati.

Khalil menyeruput teh yang telah tersedia di mejanya. Biasanya pada jam istirahat ia ikut bergabung ngerumpi dengan guru yang lainnya di koridor sekolah, tapi pada hari itu ia merasa kurang enak badan. Jadi dia putuskan untuk istirahat saja di ruang guru.

Khalil bersandar di kursi sambil memejamkan mata, tiba-tiba hpnya bergetar mengusik peristirahatannya. Panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dengan malas ia mengangkat hpnya. "Halo Assalamualaikum, ini dengan siapa?" Sementara itu di kursi depan, Nur diam-diam memperhatikannya.

"Benar ini nomor kak Khalil?" Terdengar suara seorang wanita dari speaker hpnya.

"Iya benar, emang ini dengan siapa?"

"Nih Ayu kak" Khalil agak terkejut mendengar pengakuan orang yang menelpon tersebut. Perempuan yang selama ini tidak pernah membalas smsnya kok tiba-tiba menelponnya. Khalil bahkan sudah menghapus nomor Ayu karena saking jengkelnya smsnya tidak pernah dibalas, tapi tanpa dia duga gadis itu malah menelponnya. "Ada kepentingan apa gerangan?" Tanya Khalil dalam hati.

"Oh Ayu, ada perlu apa dek"

"Begini kak,  besok kan ada festival di lapangan Merdeka, dan kebetulan Ayu juga mau performance di sana. Kalau besok  gak ada kesibukan, kakak datang yah?"

"Emang jam berapa?"

"Jam 3 kak"

Wah jam 3, saya kayaknya gak bisa datang


Kok gak bisa kak


Kalau jam 3 saya masih tidur dek. Jam 5an baru bangun


Ah kakak, bukan jam tiga dinihari, tapi jam tiga sore


"Bilang dong dari tadi"

"Jangan lupa kak Arkam diajak juga yah kak!" Sebenarnya Ayu ingin mengajak Arkam secara langsung, hanya saja hp Arkam jarang aktiv, jadi dia memutuskan untuk menelpon Khalil saja.

"Iya" Jawab Khalil dengan malas.

"Ok deh, kalau gitu udah dulu yah kak. Assalamualaikum"

Khalil mengakhiri sambungan telpon tersebut tanpa menjawab salam Ayu.

"Telponan dari pacar yah pak" Tanya Nur yang dari tadi diam-diam mencuri dengar.

Setelah meletakkan hpnya di atas meja, Khalil menjawab "Bukan bu, cuman dari temen"

"Cowok apa cewek" Nur mengintrogasi.

"Cewek bu" Khalil jujur.

"Gak percaya kalau cuman temen"

"Temen bu, dia mau nyanyi di lapangan Merdeka, trus dia ngundang saya buat ramein acaranya"

"Kapan pak?"

"Katanya, besok sekitar jam 3"

"Kalau bukan pacar berarti saya boleh ikut kan pak" Nur iseng.

"Boleh aja bu. Emang serius ibu mau ikut?"

"Kita lihat besok aja pak, kalau gak ada kegiatan saya sih mau aja ngikut, lumayan buat buang suntuk"

“Tringgg”

Bel tanda masuk kembali berbunyi. Di jam ke 5 Khalil mengajar di kelas 1.1. Khalil suka mengajar di sana, berbanding terbalik dengan kelas 1.3, murid-murid di sana sopan-sopan. Disuruh apa aja mereka pasti nurut. PR pun selalu dikerjakan.

Pada jam terakhir Khalil mengajar di kelas 1.2. Seusai mengajar di sana, ia langsung ke parkiran mengambil motornya untuk segera pulang ke rumah. Ia benar-benar merasa kurang sehat, jadi ia ingin segera sampai di rumah untuk mengisirahatkan tubuhnya.

Perlahan motornya melalui pagar sekolah. Sebelum sempat menancap gas, ia melihat Fatma berdiri di pinggir jalan menungu angkot. Gadis berkecamata itu, Khalil tak pernah berani memulai pembicaraan dengannya. Memang benar, seorang  pendiam memiliki aura keangkeran tersendiri. Seingat Khalil, hanya saat memperkenalkan dirilah dirinya bicara pada gadis tersebut, selebihnya tidak pernah.

Khalil menghentikan motornya tepat di depan Fatma. Setelah mengumpulkan keberanian ia angkat bicara."Ibu nunggu jemputan?"

"Enggak, lagi nunggu angkot"

"Emang rumah ibu di mana?"

"Di Pallengoreng"

"Mau ikut gak bu, kebetulan saya lewat di situ"

Tanpa berkata apa pun lagi, Fatma sudah duduk di jok belakang. Khalil pun kembali menambah gas motornya.

"Motornya mana bu? Biasanyakan ibu bawa motor sendiri"



Karena sedang di atas motor yang sedang berjalan maka Fatma tidak teralu mendegar apa yang diucapkan Khalil. Karena itu ia mencondongkan lagi tubuhnya ke depan dan mendekatkan telinganya ke kepala Khalil. "Apa pak?"

"Motor ibu mana?" Khalil mengulang pertanyaanya dengan suara yang lebih keras.

"Di bengkel pak"

"Oww pantasan." Setelah diam sesaat Khalil bertanya lagi  "Ibu suka baca novel yah?"

"Iya suka"

"Novel apa aja bu"

"Novel apa aja saya suka"

"Trus tadi di sekolah ibu baca novel apa?"

"Oh itu tadi novel karya kang Abik, judulnya Bumi Cinta" Fatma sangat antusias berbicara tentang novel karena ia memang suka membaca novel. "Kalau bapak, suka novel juga" ia bertanya balik.

"Iya saya suka membaca novel"

"Novel apa saja yang sudah bapak baca?"

"Tidak banyak sih. Kebanyakan sastra lama. Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Ronggeng Dukuh Paruk. Yah novel semacam itulah bu"

"Penulis favorit bapak siapa?"

Khalil berfikir sejenak baru menjawab "Aku suka karya Pramudya Ananta Toer. Kalau ibu?"

"Kalau dari dalam negri saya suka karya kang Abik, kalau yang di luar negri saya suka Paulo Coelho"

"Oh ibu suka Paulo Coelho? saya juga suka bukunya yang berjudul sang Alkemis"

"Pas pak, itu novel favorit saya"

"Nih udah sampai di Pallengoreng, rumah ibu di sebelah mana?"

"Itu pak, pas setelah  pertamina" Fatma nenunjuk ke arah rumah panggung yang bercet coklat.

Tak lama kemudian Khalil menginjak rem. Fatma turun dari motor. Belum puas ia berbincang tentang novel dengan Khalil tapi ia sudah sampai di depan rumahnya. "Terimakasih yah pak"

"Enak aja bilang terimakasih, bayar dong bu!" Khalil bercanda. Fatma pura-pura akan mengambil uang dari dompetnya. Melihat hal itu, dengan segera Khalil berkata "Cuman becanda bu"

Fatma mengangkat wajahnya dan memberikan senyuman sebagai bayaran. Khalil terpesona, baru pertama kali ia melihat Fatma tersenyum. Ternyata jika diperhatikan Fatma itu lumayan cantik. Pasti lebih cantik jika kacamatanya dilepas. "Singgah ke rumah pak?" Ucapan Fatma menyadarkannya dari keterpesonaannya.

"Lain kali bu. Saya jalan yah bu." Khalil pun memacu motornya. Ia tak pernah menyangka gadis berkacamata yang tampak kaku tersebut ternyata enak diajak berbicara. Dan juga senyuman langka yang ia dapatkan tadi sungguh sangat menawan.

Bersambung....
#themantan09



Komentar

Postingan populer dari blog ini

THE MANTAN BAGIAN 12

THE MANTAN BAGIAN 1

THE MANTAN BAGIAN 2