THE MANTAN BAGIAN 18
Curhatan Seorang Paggalung
THE MANTAN
Bagian ke-18
Sekitar pukul 11.00. Mentari semakin menyengat dan angin pun enggan berhembus. Bulir-bulir peluh berjatuhan membasahi pakaian Arkam. Sesekali ia menyeka keringat di keningnya dengan lengannya. Tangan kirinya menenteng sebuah ember berwarna hitam yang berisi bibit padi, sementara itu tangan kanannya sibuk melemparkan bibit-bibit padi itu ke lahan persemaian .
Seusai menyemai bibit padi tersebut, Arkam berisirahat sejenak di pematang sawah. Ia kemudian meneguk air dari botol plastik yang sudah hampir lumutan. Ada perasaan lega di hatinya setelah menyemai bibit padi tersebut.
"Udah selesai nak?" Tanya seseorang pria paruh baya yang datang dari arah timur. Pria tersebut memikul sebuah cangkul di bahu kananya, dan memegang parang panjang di tangan kirinya.
Setelah minum beberapa teguk, Arkam menutup botol minumannya. "Alhamdulillah pak selesai juga." Jawabnya.
"Sudah bisa santai-santai lagi lah kalau gitu?"
"Iya pak, untuk dua minggu ke depan saya bisa santai"
Pria paru baya itu kemudian meletakkan cangkul dan parangnya lalu duduk di samping Arkam. Dirogohnya sakunya, ia mengambil kantong plastik bekas yang berisi kretek dan korek api. Setelah menyalakan kreteknya, ia kemudian meletakkan kantong plastik tersebut di samping Arkam. "Sudah beli pupuk nak?" Ucap pria itu dengan sesekali menghisap rokoknya.
"Belum pak, kemarian saya sudah niat mau beli, tapi stoknya kosong. Katanya minggu depan baru datang lagi"
"Sekarang pupuk memang susah didapatkan. Kalau pun ada paling cuman pupuk urea, pupuk ponska sangat sulit untuk didapatkan. Bagaimana padinya bisa berbuah kalau cuman pake pupuk urea. Kalau daunnya saja yang lebat tanpa buah, paling nanti padinya jadi pakan ternak aja.
"Iya pak, bukan hanya susah didapatkan, tapi harganya pun selangit" Sambung Arkam
"Di jaman pak Harto tidak pernah seperti ini. Dulu, sekarung gabah cukup untuk membeli beberapa sak pupuk. Tapi jaman sekarang, untuk satu sak pupuk saja tidak cukup ditukar hanya dengan sekarung gabah" keluh bapak tersebut sembari mengingat ingat kembali jaman pemerintahan Soeharto.
"Iya pak, meski pun harganya selangit, mau gak mau kita tetap membelinya, sebab kalau tidak, panennya tidak akan berhasil. Dan yang bikin gak enak lagi, para agen pupuk itu pun malah memanfaatkan kelangkaan pupuk itu untuk kampanye calon legislatif yang mereka usung. Mereka bahkan mengancam tidak akan menjual pupuk kepada petani yang tidak mendukung calon pilihan mereka"
"Begitulah jaman sekarang nak. Manusia pada haus akan jabatan, dahaga akan kekuasaan. Segala hal dipolitisasi. Mereka bahkan tanpa hati tega memamfaatkan kesulitan orang lain hanya untuk memenuhi semua hasrat rendahnya itu. Tak peduli seberapa banyak harta yang mereka makan, tak peduli seberapa tinggi jabatan yang mereka capai, mereka tidak akan pernah puas. Hanya satu genggam tanalah yang pada nantinya dapat memuaskan mereka."
"Betul pak" Ucap Arkam sambil menganguk.
Bapak itu kembali menghisap kreteknya lalu kemudian mengibas-ngibaskan topi petaninya karena merasa kegerahan "Sekarang jadi petani itu susah nak. Kamu kan sarjana, mendingan cari kerja kantoran saja" Usul Bapak itu.
"Iya pak, rencananya sih gitu. Tapi cari kerja di sini susah pak"
"Kenapa kamu tidak merantau saja nak?"
"Kalau Ayahku tidak meninggal mungkin saya sudah di pergi merantau entah itu ke Kalimantan, Sumatra, atau Papua pak. Tapi ayahku telah tiada, dan aku tidak mungkin pergi meninggalkan adikku sendirian"
"Memangnya adeknmu si Ulfa itu sudah kelas berapa sekarang nak?"
"Sudah kelas 3 SMP pak"
"Sudah gede kalau gitu, kamu tinggalin pun tidak apa-apa. Kan ada pamanmu yang bisa menjaganya disaat kau dalam perantauan"
"Iya sih pak. Tapi kan kami baru saja kehilangan, kalau aku pergi juga, pasti ia akan merasa lebih kehilangan lagi. Jadi lebih baik kuurungkan dululah niatku tersebut."
"Nak, kamu sudah punya calon belum?"
"Calon apa pak?"
"Calon istrilah, masa calon bupati, pemilihan bupatikan sudah lewat"
"Belum pak"
"Bagaimana kalau kau menikah saja dengan anakku?"
Arkam tersekat mendengar ucapan bapak tersebut "Dengan anak bapak yang mana?" Tanya Arkam.
"Dengan si Dewi"
"Dewi? yang mana anak bapak yang bernama Dewi?" Tanya Arkam penasaran.
"Yang itu yang paling kecil, yang masih TK" Ucap bapak itu sambil tertawa terbahak-bahak bercampur batuk. Ia puas berhasil mengerjai si Arkam.
"Ahh bapak ini ada-ada aja" Arkam merasa kesal telah dikerjai bapak tersebut.
Kamu cepat-cepatlah cari pendamping biar ada yang ngurus. Tidak baik melajang terlalu lama
Uang belum cukup pak. Gadis Bugis mahal-mahal. Jika mengandalkan hasil sawah yang saya garap, kayaknya butuh beberapa tahun untuk mengumpulkan uang panaik pak”
Makanya cari pendamping jangan yang jauh-jauh! Cari aja yang dekat-dekat, yang masih ada hubungan keluarga denganmu. Kalau keluarga gak mungkin masang uang panaik yang terlalu mahal
Bapak itu kembali mengisap kreteknya kemudian melanjutkan kata-katanya, sementara itu Arkam serius medengar wejangannya yang amat bijak Jangan takut menikah nak meskipun engaku belum mapan. Menikahlah dengan seorang wanita yang kau sukai, jika saat dalam masa pernikahan kau merasa tak mampu untuk menafkahinya maka menikahlah sekali lagi. Setelah menikah lagi dan kamu masih belum mampu untuk menafkahi kedua istrimu maka menikahlah lagi. Dan ketika kau sudah menikah tiga kali dan belum juga mapu untuk menafkahi mereka, maka menikahlah sekali lagi niscaya merekalah yang akan menafkahimu.
Setelah lama berbincang menghabiskan tiga batang kreteknya, bapak itu pun mengajak Arkam untuk pulang bersama.
........
Sesampainya di rumah, Arkam langsung membersihkan diri di sumur yang terletak di samping rumahnya. Setelah selesai mandi, ia menjemur pakaian dinas yang ia pakai tadi.
Usai berpakaian, ia kemudian sholat duhur. Setelah berdoa, ia beranjak ke meja makan untuk mengisi perutnya yang memang sudah kelaparan. Sayur bening dan ikan asin sisa tadi pagi, itulah yang menjadi santapan makan siangnya. Setelah selesai makan ia menuju ke ruang keluarga untuk menonton tv.
"Arkam, Arkam, Arkam" Khalik menggedor-gedor pintu memanggil namanya.
"Masuk aja, gak dikunci kok" Teriak Arkam yang sedang bersantai di depan tv.
Khalil membuka pintu, kemudian melepas sepatunya, kemudian berjalan menghampiri Arkam yang tampak sedang berbaring melepaskan penat.
"Wihhh makin keren aja lu bro" Arkam agak terkejut melihat penampilan Khalil yang begitu rapi mengenakan seragam hitam putih, berbeda sekali dengan penampilan Khalil yang biasanya agak cuek dengan penampilan.
Khalil duduk di samping Arkam, ia merebut remote yang dipegang Arkam. "Iyalah bro, nih sepulang mengajar langsung ke sini" Ucap Khalil sambil memencet remot tv.
"Tumben Lil siang-siang kamu ke sini, ada perlu apa?"
"Emang gak boleh yah sahabat ngunjungin sahabatnya?"
"Yah boleh saja, cuman tidak biasanya siang-siang kamu ke sini"
Khalik mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk mencari gadis imut yang sering ia godai, namun tak tampak olehnya akan batang hidung gadis tersebut. "Ulfa mana bro?"
"Lagi tidur siang kayaknya. Emang ngapain juga kau cari Ulfa? Ada perlu apa?"
"Enggak ada bro, cuman kangen aja" Ucap Khalil sambil tertawa cengengesan.
"Awas yah kalau kau macam-macam dengan adekku"
(lebay mode on)
"Emang kamu gak bangga jika sahabatmu yang tampan layaknya seorang pangeran ini kelak menjadi adik iparmu?"
"Aku tidak rela menyerahkan adikku kepada jomblo karatan sepertimu"
"Enak aja, sadis luh bro bilangin aku jomblo karatan. Aku ini jojoba bro"
"Jadi jomblo-jomblo bangke dong" Arkam tertawa puas mengejek sahabatnya.
"Daripada daku merebut mantan sahabatku, mendingan daku memacari adik sahabatku" Khalil balas tertawa .
"Jangan lakukan itu jika engkau masih ingin melihat sinar mentari esok hari" Ucap Arkam dengan nada lebay.
"Enggak bro cuman becanda, lagian akan terlalu banyak gadis-gadis yang patah hati jika aku memilih adikmu sebagai kekasih"
"Preet" Sela Arkam.
"Eh, jangan remehin aku bro. Walupun tampan-tampan begini, tadi sepulang sekolah aku bonceng cewek cantik loh bro"
"Sejak kapan kamu jadi tukang ojek?"
"Kenapa kau terus saja merendahkan sahabatmu ini bro? Aku serius bro"
"Bodoh amat"
"Udahlah kalau gak mau percaya. Ngomong-ngomong kamu dapat sms atau telephon dari Ayu gak?"
"Enggak ada, HPku saya matikan bro. Emang kenapa dengan Ayu? "
"Besok katanya dia mau pentas di Lapangan Merdeka. Ia ngajakin aku dan kamu buat nonton. Kamu mau ikut gak?"
"Enggak ah, males"
"Emang kerjaan di sawah masing banyak yah bro?"
"Enggak sih, untuk dua minggu ke depan saya gak terlalu banyak kerjaan. Paling cuman mupuk sehari"
"Emang ada apa dua minggu ke depan"
"Dua minggu ke depan nanti saya sudah mulai nanam."
"Kalau gitu ikutlah bro. Ngapain tinggal di rumah. Emang kamu gak mau ketemuan sama Rahma?"
"Ngapain juga saya ketemuan sama Rahma?"
"Aduh bro gak usah ngelak. Semenjak di rumah sakit itu, kami semua sudah tahu kalau antara kamu dan Rahma itu ada sesuatu"
"Sok tahu kamu Lil" Arkam menampik tuduhan sahabatnya tersebut.
"Tuh kan benar. Makanya ikut aja!"
"Emang acaranya jam berapa?"
"Jam 3an bro, walaupun besok kamu ke sawah dulu, masih sempat juga kita ke sana"
"Kita lihat besok lah Lil"
"Nah gitu dong"
Bersambung....
THE MANTAN
Bagian ke-18
Sekitar pukul 11.00. Mentari semakin menyengat dan angin pun enggan berhembus. Bulir-bulir peluh berjatuhan membasahi pakaian Arkam. Sesekali ia menyeka keringat di keningnya dengan lengannya. Tangan kirinya menenteng sebuah ember berwarna hitam yang berisi bibit padi, sementara itu tangan kanannya sibuk melemparkan bibit-bibit padi itu ke lahan persemaian .
Seusai menyemai bibit padi tersebut, Arkam berisirahat sejenak di pematang sawah. Ia kemudian meneguk air dari botol plastik yang sudah hampir lumutan. Ada perasaan lega di hatinya setelah menyemai bibit padi tersebut.
"Udah selesai nak?" Tanya seseorang pria paruh baya yang datang dari arah timur. Pria tersebut memikul sebuah cangkul di bahu kananya, dan memegang parang panjang di tangan kirinya.
Setelah minum beberapa teguk, Arkam menutup botol minumannya. "Alhamdulillah pak selesai juga." Jawabnya.
"Sudah bisa santai-santai lagi lah kalau gitu?"
"Iya pak, untuk dua minggu ke depan saya bisa santai"
Pria paru baya itu kemudian meletakkan cangkul dan parangnya lalu duduk di samping Arkam. Dirogohnya sakunya, ia mengambil kantong plastik bekas yang berisi kretek dan korek api. Setelah menyalakan kreteknya, ia kemudian meletakkan kantong plastik tersebut di samping Arkam. "Sudah beli pupuk nak?" Ucap pria itu dengan sesekali menghisap rokoknya.
"Belum pak, kemarian saya sudah niat mau beli, tapi stoknya kosong. Katanya minggu depan baru datang lagi"
"Sekarang pupuk memang susah didapatkan. Kalau pun ada paling cuman pupuk urea, pupuk ponska sangat sulit untuk didapatkan. Bagaimana padinya bisa berbuah kalau cuman pake pupuk urea. Kalau daunnya saja yang lebat tanpa buah, paling nanti padinya jadi pakan ternak aja.
"Iya pak, bukan hanya susah didapatkan, tapi harganya pun selangit" Sambung Arkam
"Di jaman pak Harto tidak pernah seperti ini. Dulu, sekarung gabah cukup untuk membeli beberapa sak pupuk. Tapi jaman sekarang, untuk satu sak pupuk saja tidak cukup ditukar hanya dengan sekarung gabah" keluh bapak tersebut sembari mengingat ingat kembali jaman pemerintahan Soeharto.
"Iya pak, meski pun harganya selangit, mau gak mau kita tetap membelinya, sebab kalau tidak, panennya tidak akan berhasil. Dan yang bikin gak enak lagi, para agen pupuk itu pun malah memanfaatkan kelangkaan pupuk itu untuk kampanye calon legislatif yang mereka usung. Mereka bahkan mengancam tidak akan menjual pupuk kepada petani yang tidak mendukung calon pilihan mereka"
"Begitulah jaman sekarang nak. Manusia pada haus akan jabatan, dahaga akan kekuasaan. Segala hal dipolitisasi. Mereka bahkan tanpa hati tega memamfaatkan kesulitan orang lain hanya untuk memenuhi semua hasrat rendahnya itu. Tak peduli seberapa banyak harta yang mereka makan, tak peduli seberapa tinggi jabatan yang mereka capai, mereka tidak akan pernah puas. Hanya satu genggam tanalah yang pada nantinya dapat memuaskan mereka."
"Betul pak" Ucap Arkam sambil menganguk.
Bapak itu kembali menghisap kreteknya lalu kemudian mengibas-ngibaskan topi petaninya karena merasa kegerahan "Sekarang jadi petani itu susah nak. Kamu kan sarjana, mendingan cari kerja kantoran saja" Usul Bapak itu.
"Iya pak, rencananya sih gitu. Tapi cari kerja di sini susah pak"
"Kenapa kamu tidak merantau saja nak?"
"Kalau Ayahku tidak meninggal mungkin saya sudah di pergi merantau entah itu ke Kalimantan, Sumatra, atau Papua pak. Tapi ayahku telah tiada, dan aku tidak mungkin pergi meninggalkan adikku sendirian"
"Memangnya adeknmu si Ulfa itu sudah kelas berapa sekarang nak?"
"Sudah kelas 3 SMP pak"
"Sudah gede kalau gitu, kamu tinggalin pun tidak apa-apa. Kan ada pamanmu yang bisa menjaganya disaat kau dalam perantauan"
"Iya sih pak. Tapi kan kami baru saja kehilangan, kalau aku pergi juga, pasti ia akan merasa lebih kehilangan lagi. Jadi lebih baik kuurungkan dululah niatku tersebut."
"Nak, kamu sudah punya calon belum?"
"Calon apa pak?"
"Calon istrilah, masa calon bupati, pemilihan bupatikan sudah lewat"
"Belum pak"
"Bagaimana kalau kau menikah saja dengan anakku?"
Arkam tersekat mendengar ucapan bapak tersebut "Dengan anak bapak yang mana?" Tanya Arkam.
"Dengan si Dewi"
"Dewi? yang mana anak bapak yang bernama Dewi?" Tanya Arkam penasaran.
"Yang itu yang paling kecil, yang masih TK" Ucap bapak itu sambil tertawa terbahak-bahak bercampur batuk. Ia puas berhasil mengerjai si Arkam.
"Ahh bapak ini ada-ada aja" Arkam merasa kesal telah dikerjai bapak tersebut.
Kamu cepat-cepatlah cari pendamping biar ada yang ngurus. Tidak baik melajang terlalu lama
Uang belum cukup pak. Gadis Bugis mahal-mahal. Jika mengandalkan hasil sawah yang saya garap, kayaknya butuh beberapa tahun untuk mengumpulkan uang panaik pak”
Makanya cari pendamping jangan yang jauh-jauh! Cari aja yang dekat-dekat, yang masih ada hubungan keluarga denganmu. Kalau keluarga gak mungkin masang uang panaik yang terlalu mahal
Bapak itu kembali mengisap kreteknya kemudian melanjutkan kata-katanya, sementara itu Arkam serius medengar wejangannya yang amat bijak Jangan takut menikah nak meskipun engaku belum mapan. Menikahlah dengan seorang wanita yang kau sukai, jika saat dalam masa pernikahan kau merasa tak mampu untuk menafkahinya maka menikahlah sekali lagi. Setelah menikah lagi dan kamu masih belum mampu untuk menafkahi kedua istrimu maka menikahlah lagi. Dan ketika kau sudah menikah tiga kali dan belum juga mapu untuk menafkahi mereka, maka menikahlah sekali lagi niscaya merekalah yang akan menafkahimu.
Setelah lama berbincang menghabiskan tiga batang kreteknya, bapak itu pun mengajak Arkam untuk pulang bersama.
........
Sesampainya di rumah, Arkam langsung membersihkan diri di sumur yang terletak di samping rumahnya. Setelah selesai mandi, ia menjemur pakaian dinas yang ia pakai tadi.
Usai berpakaian, ia kemudian sholat duhur. Setelah berdoa, ia beranjak ke meja makan untuk mengisi perutnya yang memang sudah kelaparan. Sayur bening dan ikan asin sisa tadi pagi, itulah yang menjadi santapan makan siangnya. Setelah selesai makan ia menuju ke ruang keluarga untuk menonton tv.
"Arkam, Arkam, Arkam" Khalik menggedor-gedor pintu memanggil namanya.
"Masuk aja, gak dikunci kok" Teriak Arkam yang sedang bersantai di depan tv.
Khalil membuka pintu, kemudian melepas sepatunya, kemudian berjalan menghampiri Arkam yang tampak sedang berbaring melepaskan penat.
"Wihhh makin keren aja lu bro" Arkam agak terkejut melihat penampilan Khalil yang begitu rapi mengenakan seragam hitam putih, berbeda sekali dengan penampilan Khalil yang biasanya agak cuek dengan penampilan.
Khalil duduk di samping Arkam, ia merebut remote yang dipegang Arkam. "Iyalah bro, nih sepulang mengajar langsung ke sini" Ucap Khalil sambil memencet remot tv.
"Tumben Lil siang-siang kamu ke sini, ada perlu apa?"
"Emang gak boleh yah sahabat ngunjungin sahabatnya?"
"Yah boleh saja, cuman tidak biasanya siang-siang kamu ke sini"
Khalik mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk mencari gadis imut yang sering ia godai, namun tak tampak olehnya akan batang hidung gadis tersebut. "Ulfa mana bro?"
"Lagi tidur siang kayaknya. Emang ngapain juga kau cari Ulfa? Ada perlu apa?"
"Enggak ada bro, cuman kangen aja" Ucap Khalil sambil tertawa cengengesan.
"Awas yah kalau kau macam-macam dengan adekku"
(lebay mode on)
"Emang kamu gak bangga jika sahabatmu yang tampan layaknya seorang pangeran ini kelak menjadi adik iparmu?"
"Aku tidak rela menyerahkan adikku kepada jomblo karatan sepertimu"
"Enak aja, sadis luh bro bilangin aku jomblo karatan. Aku ini jojoba bro"
"Jadi jomblo-jomblo bangke dong" Arkam tertawa puas mengejek sahabatnya.
"Daripada daku merebut mantan sahabatku, mendingan daku memacari adik sahabatku" Khalil balas tertawa .
"Jangan lakukan itu jika engkau masih ingin melihat sinar mentari esok hari" Ucap Arkam dengan nada lebay.
"Enggak bro cuman becanda, lagian akan terlalu banyak gadis-gadis yang patah hati jika aku memilih adikmu sebagai kekasih"
"Preet" Sela Arkam.
"Eh, jangan remehin aku bro. Walupun tampan-tampan begini, tadi sepulang sekolah aku bonceng cewek cantik loh bro"
"Sejak kapan kamu jadi tukang ojek?"
"Kenapa kau terus saja merendahkan sahabatmu ini bro? Aku serius bro"
"Bodoh amat"
"Udahlah kalau gak mau percaya. Ngomong-ngomong kamu dapat sms atau telephon dari Ayu gak?"
"Enggak ada, HPku saya matikan bro. Emang kenapa dengan Ayu? "
"Besok katanya dia mau pentas di Lapangan Merdeka. Ia ngajakin aku dan kamu buat nonton. Kamu mau ikut gak?"
"Enggak ah, males"
"Emang kerjaan di sawah masing banyak yah bro?"
"Enggak sih, untuk dua minggu ke depan saya gak terlalu banyak kerjaan. Paling cuman mupuk sehari"
"Emang ada apa dua minggu ke depan"
"Dua minggu ke depan nanti saya sudah mulai nanam."
"Kalau gitu ikutlah bro. Ngapain tinggal di rumah. Emang kamu gak mau ketemuan sama Rahma?"
"Ngapain juga saya ketemuan sama Rahma?"
"Aduh bro gak usah ngelak. Semenjak di rumah sakit itu, kami semua sudah tahu kalau antara kamu dan Rahma itu ada sesuatu"
"Sok tahu kamu Lil" Arkam menampik tuduhan sahabatnya tersebut.
"Tuh kan benar. Makanya ikut aja!"
"Emang acaranya jam berapa?"
"Jam 3an bro, walaupun besok kamu ke sawah dulu, masih sempat juga kita ke sana"
"Kita lihat besok lah Lil"
"Nah gitu dong"
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar